Pada era reformasi, sejarah penting tercatat dalam perjalanan institusi kepolisian Indonesia, saat Kepolisian Republik Indonesia (Polri) resmi dipisahkan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pemisahan ini menjadi tonggak bersejarah yang menandai upaya peningkatan profesionalisme POLRI sebagai lembaga yang lebih independen dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum. Proses pemisahan POLRI dari ABRI menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah reformasi birokrasi Indonesia. Keputusan ini diambil untuk menjadikan Polri sebagai institusi yang independen dalam menjalankan tugasnya sebagai aparat penegak hukum, terlepas dari pengaruh militer.
Sebelum perpisahan tersebut, POLRI merupakan bagian dari struktur ABRI, yang melibatkan polisi dalam satu komando dengan TNI (Tentara Nasional Indonesia). Namun, seiring dengan dinamika sosial dan politik, serta tuntutan masyarakat akan sistem keamanan yang lebih profesional, independen, dan transparan, pemerintah mengambil langkah strategis untuk memisahkan keduanya. Pada masa itu, langkah ini juga merupakan bagian dari reformasi besar-besaran di berbagai sektor negara, terutama setelah era Orde Baru. Pemerintah Indonesia, yang saat itu dipimpin oleh Presiden B.J. Habibie, berkomitmen untuk membangun sebuah institusi kepolisian yang lebih mandiri dan profesional, terlepas dari pengaruh militer.
Sejarah pembentukan dimulai pada saat Presiden Soekarno menyatakan akan membentuk ABRI yang terdiri dari Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian. Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 21/1960, gelar Menteri Muda Kepolisian dihapuskan dan digantikan dengan sebutan Menteri Kepolisian Negara yang berada di bawah koordinasi Angkatan Perang, serta termasuk dalam bidang keamanan nasional. Pada 19 Juni 1961, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) menyetujui UU Pokok Kepolisian No. 13/1961. Dalam undang-undang tersebut, Polri ditempatkan sebagai bagian dari ABRI, setara dengan TNI Angkatan Darat, Laut, dan Udara.
Pada periode 1964 hingga 1965, pengaruh PKI semakin berkembang seiring dengan kebijakan politik NASAKOM Presiden Soekarno, yang menyebabkan PKI berhasil mempengaruhi sebagian anggota ABRI dari keempat angkatan. Masa Orde Baru dimulai setelah peristiwa G30S/PKI, yang menunjukkan kurangnya integrasi antara unsur-unsur ABRI. Untuk memperkuat integrasi tersebut, pada tahun 1967, Presiden Soekarno mengeluarkan SK No. 132/1967 yang menetapkan Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Bidang Pertahanan dan Keamanan.
Sejak bergulirnya reformasi 1998, pemerintahan Orde Baru jatuh dan digantikan oleh pemerintahan Reformasi di bawah Presiden B.J. Habibie. Salah satu tuntutan besar masyarakat saat itu adalah pemisahan POLRI dari ABRI, dengan harapan agar Polri menjadi lembaga yang profesional, mandiri, dan bebas dari intervensi dalam penegakan hukum. Pada 5 Oktober 1998, perdebatan tentang pemisahan POLRI dari ABRI semakin menguat. Presiden Habibie kemudian meresponsnya dengan mengeluarkan Instruksi Presiden No. 2 tahun 1999 yang menyatakan pemisahan POLRI dari ABRI.