Dari Bukti Pengalaman Seorang Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto. Bab VI: Sikap-sikap Pemenang.
Salah satu ajaran utama yang saya terima untuk menjadi seorang pendekar adalah, ‘rame ing gawe, sepi ing pamrih’. Artinya, berbuatlah banyak pengabdian, jangan menuntut pamrih. Seorang pendekar sejati berbuat untuk orang banyak, berbuat untuk negaranya, bukan untuk dirinya sendiri. Pendekar sejati tidak kenal kata dendam dan harus bisa membela diri, keluarga, lingkungan, dan negara.
Sebagai sebuah bangsa yang kuat dan besar, kita tidak boleh melupakan sejarah kita sendiri. Sejarah Indonesia telah melahirkan para pemimpin dan pendekar yang tangguh, pembela rakyat dan keadilan, serta banyak tokoh pejuang yang berani melawan penjajahan dan dominasi bangsa lain.
Seorang pendekar sejati, ketika dihadapkan pada kebencian dan fitnah, tidak akan membalas dengan sikap yang sama. Pendekar tidak membalas fitnah dengan fitnah, ataupun kebencian dengan kebencian. Seorang pendekar, semakin ia merasa benar, semakin pula ia menghormati orang lain. Bahkan saat tidak dihormati, ia tetap menghormati. Pendekar mengutamakan persaudaraan dan persahabatan, tetap militan dan patriotik, dan harus selalu siap menghadapi segala kemungkinan.
Seorang pendekar harus memahami arti sebenarnya dari kekerasan, dan sebagai seorang pemimpin sejati, selalu harus memilih jalan yang damai. Namun, bukan berarti kita penakut. Jika diperlukan, seorang pendekar tidak akan ragu-ragu terlibat dalam operasi-operasi militer sebagai tuntutan dari keadaan.
Salah satu nilai pendekar yang paling utama adalah keberanian. Seorang pendekar tidak boleh benci dan tidak boleh dendam. Dalam pengabdian kepada negara dan bangsa, kita harus mengalahkan perasaan pribadi kita.
Dari sejarah Jepang, saya belajar mengenai pentingnya negosiasi dan kerja sama. Seorang panglima perang Jepang, Toyotomi Hideyoshi, memilih jalur damai dengan lawannya, Tokugawa Ieyasu, untuk menghindari pertumpahan darah yang tidak perlu.
Sikap yang sama juga saya temukan di Amerika. Abraham Lincoln, meskipun tidak disukai lawannya, tetapi mampu mengajak mereka masuk ke dalam kabinetnya. Ia percaya pada kemampuan lawannya yang dapat memperkuat keputusan yang diambil.
Sikap-sikap pendekar ini diajarkan secara turun-temurun di setiap perguruan pencak silat di Indonesia. Selain itu, saya juga menemukan sikap-sikap ini disampaikan di buku the Swordless Samurai karya Kitami Masao, dan juga Warrior of the Light karya Paulo Coelho.
Seorang pendekar harus menjauh dari jalan yang gelap, penuh dengan keserakahan, kedengkian, iri hati, fitnah, kekejaman, dan kecurangan. Mereka juga percaya pada keajaiban dan mampu mengubah hidupnya.
Seorang pendekar tidak boleh menunduk. Kesatria yang sejati tidak akan menurunkan kepalanya.