“Laksamana Yamamoto, Pemimpin Militer Jepang yang Berani dan Visioner”
Isoroku Yamamoto adalah seorang laksamana yang memanfaatkan kapal induk, sebuah strategi yang telah membentuk strategi Angkatan Laut terbaik dunia hingga hari ini. Pada saat itu, saya sangat terkesan dengan keberaniannya untuk berbicara kebenaran kepada kekuasaan, meskipun hal tersebut tidak populer secara politis. Dia adalah salah satu dari sedikit pimpinan militer Jepang yang memandang aliansi Jepang dengan Nazi Jerman sebagai aliansi yang memuakkan, meskipun hal itu membuatnya mendapatkan kemarahan dari rekan-rekannya.
Yamamoto lahir pada tahun 1884 di pantai barat pulau utama Jepang, Isoroku Yamamoto adalah putra seorang samurai kelas menengah. Setelah lulus dari Akademi Angkatan Laut Kekaisaran Jepang pada usia 20 tahun, ia bertugas di sebuah kapal penjelajah selama Perang Rusia-Jepang, di mana ia kehilangan dua jari di tangan kirinya karena kapalnya ditembak AL Rusia.
Karena bakatnya di medan perang, Yamamoto ditugaskan ke AS, di mana ia menghabiskan dua tahun belajar di Harvard dan kemudian menjabat sebagai atase AL di kedutaan Jepang di Washington. Selama di AS, ia tidak hanya fasih berbicara bahasa Inggris, tetapi juga melakukan perjalanan ke seluruh negeri tersebut untuk lebih memahami AS.
Setelah kembali ke Jepang pada akhir 1924, Yamamoto menilai tata cara perang laut yang berkembang pesat, sehingga ia mengubah spesialisasinya dari meriam ke penerbangan AL. Ia akhirnya diberikan komando kapal induk, kemudian seluruh Divisi Kapal Induk Pertama.
Selain reputasinya sebagai ahli strategi AL yang berkembang pesat, ia juga dikenal sebagai seorang pemimpin militer yang tidak sungkan berbicara terang-terangan. Dia sering berselisih dengan sesama tentara, serta dengan faksi ultranasionalis yang bertekad berperang. Terutama, Yamamoto sangat kritis terhadap aliansi pemerintah Jepang dengan kekuatan poros Nazi Jerman dan Italia.
Karena sering berbicara di depan umum tentang hal-hal ini, dia menerima banyak ancaman pembunuhan dari militan pro-perang. Namun, ini tidak membuatnya menyesal. “Mereka dapat menghancurkan tubuh saya,” tulisnya, “namun mereka tidak akan menghancurkan kehendak saya.”
Pada November 1940, Yamamoto dipromosikan menjadi Laksamana AL, meskipun banyak yang mengira sifatnya yang berani bicara terus terang telah merusak kariernya. Namun, karier Yamamoto melejit karena popularitasnya yang luar biasa di AL Jepang, serta hubungan baiknya dengan keluarga Kekaisaran.
Di puncak karirnya, Yamamoto tidak segan-segan menyuarakan keraguan tentang potensi perang dengan AS. Tetapi karena perang dengan AS tidak dapat dihindari, ia yang merencanakan serangan pendahuluan yang berani di Pearl Harbor. Serangan ini, katanya, akan memberinya waktu setidaknya enam bulan untuk mengkonsolidasikan pergerakan Jepang di tempat lain di Asia.
Pada bulan Desember 1941, serangan Pearl Harbor berlangsung kurang lebih sesuai rencana. Dengan hilangnya kemampuan AL AS untuk sementara waktu, Yamamoto memimpin operasi AL Jepang ke Asia selama paruh pertama tahun 1942 yang mencakup penguasaan Hindia Belanda, Singapura, dan Filipina. Seperti yang dia bayangkan, serangan Pearl Harbour memungkinkan Jepang untuk mengambil Asia Tenggara.
Namun, seperti yang diantisipasi Yamamoto, serangan Pearl Harbor telah membangunkan raksasa Amerika yang sedang tidur. Setelah Washington meraih kemenangan penting di Midway pada Juni 1942, Jepang kembali pada posisi bertahan. Yamamoto sendiri mati ketika pesawatnya ditembak jatuh pada bulan April 1943 selama tur inspeksi di Pasifik Selatan.
Yamamoto adalah laksamana yang benar-benar memanfaatkan kapal induk, sebuah strategi yang telah membentuk strategi Angkatan Laut terbaik dunia hingga hari ini. Selain kemampuan strategi militernya, saya kagum pada Yamamoto karena keberaniannya untuk berbicara kebenaran kepada kekuasaan, walau tidak populer secara politis. Dia adalah salah satu dari sedikit pimpinan militer Jepang yang memandang aliansi Jepang dengan Nazi Jerman sebagai aliansi yang memuakkan meskipun dia mendapatkan kemarahan dari rekan-rekannya.
Selain itu, ia juga sempat mengecam perang terhadap AS, walau kalah dalam perdebatan itu dan akhirnya merencanakan serangan ke Pearl Harbor. Keberaniannya untuk berpendapat, dalam pikiran saya, adalah merupakan kualitas kepemimpinan terbesarnya.”