Berita  

Perbedaan Pengawasan Pemilu di Aceh dan Kabupaten/Kota Lain

Perbedaan Pengawasan Pemilu di Aceh dan Kabupaten/Kota Lain

Aceh memiliki keistimewaan dalam sistem pengawasan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.
Perbedaan utama terletak pada kewenangan dan struktur pengawas pemilu yang menyesuaikan dengan kekhususan Aceh sebagai daerah dengan otonomi khusus.
Di Aceh, pemerintah daerah tingkat provinsi disebut Pemerintah Aceh, bukan Pemerintah Provinsi. Sebutan ini digunakan secara resmi, termasuk di kop surat. Sementara itu, lembaga legislatif tingkat provinsi dikenal sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Nama lembaga legislatif di Aceh tidak menggunakan kata “daerah” seperti di provinsi lain, misalnya DPRD DKI Jakarta. Untuk tingkat kabupaten/kota, lembaga tersebut disebut Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK).
Aceh memiliki status otonomi khusus yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Undang-undang ini mencakup berbagai aspek, termasuk penyelenggaraan pemilu.
Dalam konteks pemilu, Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh dan KIP kabupaten/kota berfungsi sebagai bagian dari KPU. Mereka bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pemilihan presiden, wakil presiden, anggota DPR, DPD, DPRA, DPRK, serta pemilihan kepala daerah.
Pemilihan anggota KPUD provinsi dan kabupaten/kota di daerah lain diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Dalam aturan ini, anggota KPUD provinsi dipilih oleh KPU, sedangkan anggota KPUD kabupaten/kota dipilih oleh KPUD provinsi, sehingga menciptakan mekanisme hirarkis.
Sementara itu, pemilihan anggota penyelenggara pemilu di Aceh, seperti KIP Aceh dan Panwaslih, dilakukan melalui mekanisme fit and proper test yang dilakukan oleh DPRA.
Perbedaan ini menyebabkan dualisme hukum dalam pemilihan anggota Pengawas Pemilu yang dapat diusulkan oleh DPRA atau Bawaslu. Untuk mengatasi masalah ini, dibentuk Qanun Nomor 6 Tahun 2016 tentang Penyelenggara Pemilu di Aceh, meski masih dianggap kurang memadai karena Aceh menggunakan istilah qanun, bukan Peraturan Daerah (Perda).
Untuk, lembaga pengawas pemilu di Aceh disebut Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih), bukan Bawaslu, sesuai dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Panwaslih Aceh bertugas mengawasi pemilihan gubernur, wali kota, dan bupati, serta memastikan seluruh tahapan pilkada berjalan sesuai aturan syariat Islam di Aceh.
Perbedaan ini mencerminkan kekhususan Aceh dalam menjalankan tata kelola pemerintahannya, yang juga mencakup aspek pengawasan pemilu. Meskipun demikian, baik Panwaslih Aceh maupun Bawaslu di daerah lain tetap memiliki tugas utama yang sama, yaitu memastikan integritas pemilu dan menjaga proses demokrasi berjalan dengan adil serta transparan.