Kisah Kepemimpinan Jenderal Besar TNI (Purn) Abdul Harus Nasution

Kisah Kepemimpinan Jenderal Besar TNI (Purn) Abdul Harus Nasution

Saya pertama kali bertemu Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution saat saya masih menjadi taruna di AKABRI di Magelang. Beliau secara rutin memberikan ceramah di sana dan merupakan sahabat dekat dari keluarga Brigadir Jenderal TNI dr. H. Sajiman, Kepala RST Magelang. Saya mulai mengenal Pak Nas dan Bu Nas saat sering berkunjung ke rumah keluarga Sajiman.

Dari pertemuan itu, saya mulai mengenal perjuangan Pak Nas sebagai salah satu pendiri TNI dan Panglima Komando Jawa di bawah Panglima Besar Jenderal Soedirman. Banyak kebijakan dan pemikiran beliau yang berpengaruh bagi TNI hingga saat ini, seperti pembentukan Korps Baret Merah yang saat itu bernama Korps Komando Angkatan Darat.

Saya merasa beruntung bisa berdialog langsung dengan tokoh angkatan ‘45, tokoh kunci dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Beliau sering bercerita tentang pengalamannya, pendapatnya, strategi perang gerilya, pengalaman melawan Belanda, dan berbagai hal lainnya. Saya belajar banyak dari Beliau, termasuk menguasai profesinya, kejujuran, kesederhanaan, dan ketidakpernahannya melakukan korupsi.

Meskipun beliau sudah tidak menjabat, beliau terus berkarya seperti menulis buku “Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia” yang sangat berguna untuk generasi muda. Saya merawat hubungan baik dengan beliau dari pangkat Letnan Dua hingga Kapten, bahkan saat saya menjadi menantu Presiden Soeharto.

Saya tetap menjaga hubungan baik dengan Pak Nas dan keluarganya meskipun dituduh tidak setia pada Pak Harto. Namun, bagi saya, menghormati senior seperti Pak Nas bukan berarti ikut garis politiknya. Saya juga menjaga hubungan baik dengan banyak tokoh Petisi 50 lainnya seperti Letnan Jenderal HR Darsono, Letnan Jenderal Kemal Idris, dan Letnan Jenderal TNI Sarwo Edhie Wibowo.

Saya terharu saat Pak Nas sakit dan membesuknya, namun sayangnya saya tidak bisa kembali ketika beliau sakit lagi karena sedang berada di luar negeri. Ketika saya kembali ke Tanah Air, beliau sudah wafat. Saya sangat merindukan sosok guru, panglima, dan pemimpin yang patut diteladani.

Source link